Tvonline.id – Aceh, Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) resmi mengundang Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, untuk membahas status administratif empat pulau yang menjadi polemik antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil. Pertemuan ini dijadwalkan berlangsung di Jakarta dalam waktu dekat dan menjadi penentu arah kejelasan status wilayah perbatasan.
Latar Belakang Sengketa Wilayah
Persoalan ini mencuat sejak adanya ketetapan administratif terbaru dari pusat yang mencantumkan empat pulau tersebut masuk dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Padahal, selama ini masyarakat Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Singkil menganggap keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah mereka, baik dari sisi historis, budaya, maupun administratif.
Polemik ini memunculkan kegelisahan masyarakat Aceh dan memicu respons keras dari Pemerintah Provinsi Aceh. Muzakir Manaf secara tegas menyampaikan bahwa pihaknya memiliki dokumen historis dan hukum yang membuktikan bahwa keempat pulau tersebut sejak lama merupakan bagian integral dari Aceh. Beberapa data dan dokumen, termasuk peta milik Tentara Nasional Indonesia dan arsip administratif sejak masa sebelum pemekaran provinsi, akan dipaparkan dalam pertemuan dengan Kemendagri.
Agenda Undangan Kemendagri
Kemendagri, dalam surat resmi yang dikirim kepada Pemerintah Aceeh, mengundang Gubernur Aceeh untuk hadir dalam rapat koordinasi lintas kementerian yang juga akan dihadiri oleh perwakilan dari Pemerintah Sumatera Utara. Dalam pertemuan tersebut, Kemendagri berencana melakukan pembahasan teknis yang mencakup:
- Kajian batas wilayah berdasarkan peta lama dan data topografi
- Dokumentasi kepemilikan wilayah administratif
- Rekomendasi dari Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi
- Pendapat hukum dari Kementerian ATR/BPN dan Kemenkumham
Rapat tersebut bertujuan untuk mencari solusi damai dan objektif, dengan menjunjung asas keadilan antarwilayah.
Bukti Historis dari Pihak Aceh
Gubernur Muzakir Manaf menyatakan bahwa Aceh memiliki dasar hukum yang kuat. Salah satu dokumen yang akan dijadikan rujukan utama adalah hasil kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Sumatera Utara pada tahun 1992, yang menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut berada di bawah yurisdiksi Aceeh.
Selain itu, Pemerintah Aceh juga memiliki dokumen berupa:
- Surat Keputusan Gubernur Aceeh tahun 2016 tentang batas wilayah laut
- Arsip peta terbitan militer tahun 1978 yang mencantumkan pulau-pulau dalam wilayah Aceh
- Catatan kepemilikan tanah dan fasilitas publik yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil di pulau-pulau tersebut
Data lain yang turut diperkuat adalah fakta keberadaan makam tokoh masyarakat Aceeh, sekolah rakyat, serta aktivitas keagamaan masyarakat Aceh di pulau tersebut sejak dekade 1980-an.
Pendekatan Sumatera Utara
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Gubernur Bobby Nasution mengimbau masyarakat untuk tidak terpancing emosi. Pihaknya menyambut baik ajakan diskusi dari Kemendagri dan siap mengikuti proses penyelesaian sesuai jalur administrasi.
Pemprov Sumut menyatakan bahwa klaim tersebut bukan disengaja, melainkan hasil dari penyesuaian data peta digital nasional yang mencantumkan koordinat wilayah perairan. Mereka berharap masalah ini bisa diselesaikan tanpa memicu konflik horizontal antarwarga perbatasan.
Tanggapan Masyarakat dan Tokoh Aceh
Berbagai organisasi masyarakat sipil di Aceh merespons cepat perkembangan ini. Aksi unjuk rasa sempat terjadi di Banda Aceh dan Singkil, di mana para peserta aksi mendesak agar Presiden dan Kemendagri mencabut keputusan tersebut dan mengembalikan status pulau ke Aceh.
Tokoh masyarakat dan anggota DPR asal Aceh juga turut menyuarakan hal ini. Mereka menyebut bahwa pengabaian terhadap data historis Aceeh dapat dianggap sebagai pelecehan terhadap hak kedaerahan. Beberapa bahkan meminta agar Mahkamah Konstitusi dijadikan rujukan akhir jika sengketa tak kunjung menemukan titik temu.
Komentar Gubernur Muzakir Manaf
Dalam konferensi pers yang digelar sehari sebelum keberangkatan ke Jakarta, Muzakir Manaf menyatakan bahwa ia membawa mandat rakyat Aceeh. Ia berkomitmen untuk menyampaikan bukti secara damai namun tegas, serta meminta agar Pemerintah Pusat tidak mengabaikan fakta sejarah yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Ia juga menambahkan, persoalan ini tidak boleh hanya dilihat dari sisi peta digital, melainkan harus mempertimbangkan aspek sosial, kultural, dan keberlangsungan masyarakat yang telah menggantungkan hidupnya di keempat pulau tersebut.
Aspek Geopolitik dan Potensi Sumber Daya
Empat pulau ini bukan sekadar daratan tak berpenghuni. Wilayah perairan sekitarnya diyakini memiliki potensi sumber daya kelautan yang besar, termasuk peluang eksplorasi migas lepas pantai. Potensi inilah yang diduga menjadi salah satu pemicu munculnya minat strategis dalam pengelolaan wilayah perbatasan.
Secara geografis, keempat pulau berada di kawasan perairan yang sensitif secara geopolitik. Karena itu, penetapan batas wilayah harus mempertimbangkan prinsip pertahanan, perlindungan laut, serta akses nelayan lokal dari kedua provinsi.
Harapan Penyelesaian Damai
Pakar hukum tata negara menilai bahwa sengketa ini seharusnya dapat diselesaikan tanpa perlu melebar ke konflik politik atau sosial. Pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk menjadi penengah dan menjunjung asas keadilan serta prinsip otonomi daerah.
Pengambilan keputusan yang terbuka, inklusif, dan berbasis data akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pusat. Keputusan yang baik akan menjadi preseden penting dalam penanganan batas wilayah di provinsi-provinsi lain yang mengalami kondisi serupa.
Penutup: Menunggu Keputusan Final Pemerintah Pusat
Hingga kini, publik masih menantikan hasil dari pertemuan antara Kemendagri, Gubernur Aceeh, dan perwakilan dari Sumut. Diharapkan dalam waktu dekat akan ada keputusan final yang tidak hanya adil secara administratif, tetapi juga memberikan rasa keadilan kepada masyarakat yang terdampak.
Polemik ini menunjukkan bahwa pengelolaan batas wilayah bukan sekadar perkara peta, tapi juga soal identitas, sejarah, dan kesejahteraan masyarakat lokal. Pemerintah perlu menunjukkan ketegasan dan keberpihakan pada bukti, bukan sekadar formalitas.